Pertumbuhan Ekonomi Dan “Level Of Trust”

Jakarta – Diawal bulan Agustus yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Data Ekonomi Indonesia Triwulan II tahun 2021. Alhasil, Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen year on year. Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kumulatif berdasarkan Atas Dasar Harga Konstan (AHDK) dan Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) untuk Triwulan II tahun 2020 terhadap Triwulan II tahun 2021 tumbuh sebesar 7,07 persen.

Nilai pertumbuhan ekonomi tersebut, tentunya merupakan sebuah “good news” yang dapat menambah “imunitas” Pemerintah. Pencapaian dibidang ekonomi kali ini tidak meleset dari target yang telah ditetapkan. Hal ini juga sekaligus memberikan sinyal kuat bahwa Indonesia kemungkinan akan terhindar dari zona resesi ekonomi. Apalagi jika kita melihat beberapa sektor lapangan usaha yang berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi antara lain, Industri, Pertanian, Perdagangan, Konstruksi dan Pertambangan yang mengalami kenaikan positif.

Sebaliknya di linimasa, banyak masyarakat yang “su’udzon hasanah” dengan angka pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS tersebut. Beberapa elemen masyarakat, mulai dari akademisi, pengamat ekonomi, aktivis dan bahkan politisi tidak percaya dengan angka-angka tersebut. Atau mungkin saja BPS keliru dalam perhitungannya. Bahkan ada juga netizen yang menuding jika BPS telah melakukan manipulasi data, karena diintervensi oleh “oknum kuasa” Pemerintah.

Bukan bermaksud membela. Namun BPS adalah satu-satunya lembaga Pemerintah (non-kementerian) yang ditugaskan untuk menyediakan statistik dasar, statistik sektoral dan statistik khusus. BPS juga memiliki struktur dari tingkat pusat hingga kecamatan (Koordinator Statistik Kecamatan). BPS bekerja berdasarkan UU No.16 Tahun 1997 tentang Statistik. Hasil kerja BPS pun diumumkan dalam Berita Resmi Statistik secara transparan. Hal ini dilakukan berdasarkan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Perlu diketahui bahwa, pada bulan April dan Juli 2021, Voxpol Research Center telah melakukan survei nasional di 34 Provinsi. Salah satu tujuan survei tersebut yaitu untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah. Jumlah responden dalam survei ini sebanyak 1.200 orang, diambil secara proporsional berimbang (50:50) laki-laki dan perempuan. Pengambilan sampel menggunakan metode “multistage random sampling”, dengan “margin of error” sebesar 2,83 persen.

Adapun hasil survey Voxpol Research Center menunjukkan bahwa, pada bulan April sebanyak 57,8 persen masyarakat masih percaya kepada Pemerintah, 38,6 persen tidak percaya dan 3,6 persen menyatakan tidak memberikan jawaban. Sedangkan pada bulan Juli, tinggal 54,5 persen masyarakat yang percaya kepada Pemerintah, 43,0 persen tidak percaya dan 2,5 persen tidak menjawab. Jika dilihat data tersebut, dalam 3 bulan (April-Juli) “level of trust” masyarakat kepada Pemerintah mengalami penurunan sebesar 3,3 persen. Artinya setiap bulan “level of trust” masyarakat kepada pemerintah turun sebesar 1,1 persen.

Jika belajar dari kejadian ini, maka pemerintah sudah seharusnya melakukan evaluasi kebijakan publik. Mulai dari level Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah daerah. Thomas Schelling seorang ekonom pioneer dari Harvard University pernah mengenalkan konsep “schelling point” yang mengkolaborasikan antara “statistical life” dengan “identified life”. Kebijakan publik sering hanya mengandalkan statistical life dan mengesampingkan identified life, sehingga menjadi tidak efektif. Hal ini sama kasusnya seperti pemerintah yang mengumumkan ekonomi tumbuh 7,07 persen, namun masyarakat yang sedang di “lockdown” aktivitas ekonominya justru merasakan kehidupannya sedang sekarat bagaikan zombie dalam menghadapi pandemi. Sebenarnya ini bukanlah masalah “data”, akan tetapi masalah “rasa”.

Jika kepemimpinan itu terlahir dari kepercayaan, maka wajib hukumnya bagi Pemerintah untuk menjaga kepercayaan yang telah dimandatkan oleh rakyat. Sebab, dibidang apapun kebijakan publik yang dilakukan dengan benar (seperti rilis data pertumbuhan ekonomi BPS), publik akan selalu men-generalisasi ketidakpercayaannya. Apabila “level of trust” publik kepada pemerintah terus menurun, hanya ada dua kemungkinan ; “pertama, menunggu jatuhnya pemerintahan atau kedua, menghukum untuk tidak memilih pemerintah yang berkuasa saat ini pada Pemilu berikutnya”.

Ahmad Fadhli

Persaudaraan Aktivis Dan Warga Nusantara (PANDAWA NUSANTARA)
Kandidat Doktor Ekonomi Kelautan IPB

 327 total views,  1 views today