Respon COP26, PANDAWA Nusantara Tekankan Politik Afirmasi dan Transfer Teknologi
JAKARTA – Sikap tegas ditunjukkan oleh Persaudaraan Aktivis dan Warga Nusantara (PANDAWA Nusantara) atas krisis energi dunia. PANDAWA Nusantara menuntut aksi riil pemerintah Indonesia dalam pengembangan energi baru terbarukan. Untuk itu, kebijakan politik afirmasi dan transfer teknologi menjadi salah satu formula yang dipercaya mengurai benang kusut tersebut.
“Krisis energi tidak bisa dibiarkan. Perlu aksi riil, apalagi setelah melihat sikap Indonesia yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato di KTT COP26. Semua perlu dituangkan dalam politik afirmasi terhadap clean and renewable energy di tanah air,” ungkap Aktivis PANDAWA Nusantara Atma Winata.
KTT COP26 saat berlangsung di Glasgow, Skotlandia, 1-12 November 2021. COP26 adalah Conference of the Parties ke-26 atau Pertemuan Para Pihak. Pada forum ini ada 197 negara yang bergabung. Isu utamanya adalah penanggulangan perubahan iklim global. Lalu, COP26 adalah badan pembuat keputusan tertinggi dari United Nations Framework Convention on Climate Change.
Dalam kelanjutan tugasnya, COP26 melakukan peninjauan target-target setiap negara terkait emisi yang diajukan. Pelaksanaan COP26 akan digilir di antara lima wilayah PBB, yakni Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, hingga Eropa Tengah, Timur, dan Barat juga lainnya. Atma menerangkan, ketergantungan energi fosil ditekan.
“Energi fosil terus berkurang jumlah dan menuju kepunahan. Untuk itu, ketergantungan terhadap energi fosil harus dikurangi dan ditekan. Indonesia tidak bisa terus bergantung kepada energi fosil tersebut. Perlu aksi lebih nyata lagi dari pemerintah,” terang Atma.
Atma terus menggaris bawahi, saat ini ketergantungan terhadap energi fosil terutama batubara dan minyak bumi sangatlah tinggi. Kondisi ini menjadi alarm merah, apalagi banyak negara sudah mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi terbaru membelit Tiongkok dan Singapura. Atma menegaskan, keberpihakan terhadap energi bersih tercermin dari slot investasi yang ditawarkan.
“Indonesia harus belajar banyak dari negara lain. Ada banyak negara yang kini mengalami krisis energi. Untuk itu, perlu politik keberpihakan terhadap energi bersih dan terbarukan. Parameternya tentu bisa dilihat dari persyaratan investasi asing yang masuk ke Indonesia,” tegas Atma.
Artinya, perusahaan negara maju harus melakukan transfer teknologi. Menggunakan teknologi bersih terbarukan dalam menjalankan operasi usahanya di Indonesia. Atma mengatakan, Indonesia harus menghindari potensi usaha asing yang justru banyak mengeluarkan karbon untuk mensikapi efisiensi biaya produksi. Dan, yang menjadi ironi, mereka menggunakan sumber energi bersih di negara asalnya.
“Sikap tegas melalui regulasi riil harus diberikan. Jangan sampai Indonesia menjadi pihak yang dituntut tidak menghasilkan karbon, tapi justru dari merekalah emisi itu berasal melalui investasi yang ditanam,” kata Atma.(***)
400 total views, 1 views today