Keberhasilan Menyelamatkan Demokrasi Lokal

Oleh S.Habib Democracy Watch

JAKARTA – Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 penuh dinamika. Mulai dari perdebatan, penundaan, sampai pelaksanaan. Hasil 9 Desember 2020 memang mengejutkan. Memang ada permasalahan-permasalahan selama pemungutan dan penghitungan suara.

Rentetan masalah itu antara lain muncul dari hasil pengawasan Bawaslu. Menurut Koordinator Divisi Hukum, Humas, dan Data Informasi Bawaslu Fritz Edward Siregar menyebutkan, sekitar 462 akun resmi yang masih aktif berkampanye saat masa tenang. Padahal ini melanggar Pasal 50 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 11 Tahun 2020 yang mewajibkan untuk menonaktifkan akun resmi di media sosial ketika masa tenang.

Data ini berasal dari pustaka iklan facebook. Selain itu, data Bawaslu bahwa Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik KPU tidak berjalan sesuai dengan target. Laporan pengawasan di panitia pemilihan kecamatan (PPK) memperlihatkan, hanya 20 persen atau sebanyak 708 kecamatan yang menggunakan Sirekap KPU. Sedangkan 2921 kecamatan atau 80 persennya masih menggunakan sistem manual.

Bawaslu juga mencatat ada 18668 masalah di TPS. Data itu terdiri dari 1803 TPS kekurangan perlengkapan pemungutan suara. 1727 TPS tidak memasang daftar pemilihnya dan 1983 TPS tidak memberikan infomasi pasangan calon. Belum lagi masalah 1205 surat suara yang tertukar. Masalah yang selalu ada setiap pemilihan. Juga 2324 surat suara kurang.
Akhirnya Bawaslu merekomendasikan pemungutan suara ulang di 58 TPS. Lalu, rekomendasi penghitungan suara ulang di 48 TPS. Semua itu berasal dari data Sistem Pengawasan Pemilihan Umum atau aplikasi Siwaslu.

Optimisme Pemerintah

Namun, Pemerintah membuktikan bahwa gelar negara maju sudah sepantasnya. Bayangkan saja, Amerika, Bolivia, Burundi, Mongolia, Hongkong, Selandia Baru, Singapura, Jerman, Prancis, dan Korea Selatan sudah terlebih dahulu melaksanakan demokrasi prosedural. Pandemi atau tidak, demokrasi sama dengan menyelamatkan satu bangsa.

Dalam kepemimpinan, kondisi apapun harus diselesaikan untuk menjaga periodesasi masa jabatan pemimpin. Pergantian kepemimpinan lokal adalah kehidupan manusia di daerah tersebut. Kepemimpinan periodik ini diwajibkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, juga standar pemilu demokratis yang telah disepakati bangsa-bangsa.

Bahkan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi. Jauh dari kekhawatiran banyak kritikus pilkada masa pandemi. Sehingga jelas, bahwa kesadaran terhadap protocol kesehatan telah sesuai sebagaimana diniatkan bersama.

Lalu, kenapa partisipasi tinggi? Tanpa harus menunjuk nama, kita bisa mengetahui angka partisipasi pemilih ini karena kerja sama. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Penyelenggara Pemilihan dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Semua bahu membahu untuk menyelenggarakan demokrasi sesuai dengan subtansi dan procedural teknis.

Dilain sisi, Janedjri M. Gaffar, Mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi pernah mengatakan, bahwa negara yang kita cintai ini lahir sebagai sebuah negara demokrasi. Pada intinya, negara menganut paham kedaulatan rakyat. Dengan demikian, rakyat adalah kunci kedaulatan tersebut.

Jadi, jika rakyat dengan partisipasi tinggi menyetujui secara bersama tentang pemilihan 2020. Maka, benarlah penyelenggaraan pemilihan tersebut.
Secara tidak sadar, kritikus terhadap pelaksanaan pilkada 2020 melupakan konsep kontrak social dalam demokrasi. Dalam pandangan sederhana, kontrak yang berasal dari perjanjian social antar pemilik kedaulatan adalah dasar demokrasi local.

Janedjri menambahkan, kesepakatan social ini yang memberikan ‘legitimasi’ kekuasaan. Menurutnya, Legitimasi kekuasaan ini yang memberikan kewenangan penguasa menyelenggarakan pemerintah, sekaligus membatasi masa jabatan penguasa.

Sukses Protokol Kesehatan

Jadi, Pilkada di 270 wilayah, meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota bisa dikatakan sukses. Kalau tidak mau ‘jumawa’. Pilkada di Indonesia telah berjalan sesuai dengan aturan minimal melaksanakan pemilihan selama masa pandemi. Bukan hanya itu, pengawasan penanganan protokol kesehatan sudah dipahami oleh masyarakat pemilih.

Hasil pantauan bersatu lawan covid, 89 sampai 96 persen masyarakat mematuhi protokol kesehatan. 95,95 persen pemilih menggunakan masker. 90,71 persen pemilih menjaga jarak dan menjauhi kerumunan. Ini bentuk kesadaran hukum, sebagaimana pandangan Paul Scholten yang mengatakan, kesadaran tentang hukum berarti kesadaran bahwa hukum merupakan perlindungan bagi kepentingan manusia.

Disiplin masyarakat pemilih yang menjadi suatu ketaatan memang adalah prestasi bangsa dan negara. Masyarakat mengetahui, bahwa pilkada tidak bisa diundur lebih lama. Banyak prosedur teknis dan administrasi penyelenggaraan pemerintah local yang bisa terhambat. Solusi tercepat adalah mentaati protocol kesehatan demi menyelamatkan demokrasi.

Untuk kesekian kali, setelah pemilihan umum 2019, Indonesia masih mempertahankan amanah sebagai negara dengan proses demokrasi yang kuat. Ketahanan nasional berlandaskan demokrasi yang kuat mengubah pandangan dunia. Indonesia bukan hanya mengendalikan ancaman covid-19. Tetapi, Pemerintah sanggup menjalankan amanah hak asasi berdemokrasi.(***)

 330 total views,  1 views today