Kebijaksanaan Berdemokrasi

Oleh S.Habib Democracy Watch

Simakdulu, JAKARTA – Demokrasi adalah konsensus bersama elit politik Indonesia pada masa awal kemerdekaan sampai sekarang. Pilihan itu dirasa cukup adil bagi bangsa Indonesia. Pilihan ini yang diyakini bisa memberikan rasa keadilan sosial politik untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan.

Demokrasi yang kita kenal secara teknis adalah pemilihan, baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Demi memastikan teknis demokrasi bisa mencapai kesesuaian dengan hasanah budaya nusantara yang beragam. Maka, pemerintah bersama-sama dengan wakil rakyat menciptakan produk legislatif bernama undang-undang.

Pada kesekian kali, undang-undang diganti sesuai dengan kebutuhan politik. Apakah itu salah? Jalurnya sudah tepat. Politik merupakan alat untuk mencapai subtansi demokrasi. Kesepakatan yang berdasarkan musyawarah diharapkan bisa mengakomodasi setiap kebutuhan politik rakyat.

Kesepakatan politik itu terbuka sebagai kebijakan (open legal policy). Sehingga, aturan dasar demokrasi menjadi pilihan kebijaksanaan politisi-politisi. Bukan tidak mungkin suatu aturan menjadi baik dengan berbagai pertimbangan dan pengalaman atas pelaksanaan undang-undang tersebut.

UU Pemilu

Undang-undang pemilu adalah undang-undang yang menjadi pijakan hukum untuk menempatkan keterwakilan rakyat dalam pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dengan demikian, undang-undang pemilu diharapkan memiliki kekuatan dan pemanfaatan yang panjang.

Beberapa pandangan ahli pemilu mengatakan bahwa suatu undang-undang dalam hal kepemiluan harus dilaksanakan untuk kurun waktu empat sampai lima kali pemilu. Hal ini dikarenakan undang-undang adalah general law yang bisa dimaksimalkan melalui peraturan dan tindakan teknis.

Sepanjang penyelenggaraan pemilu, undang-undang yang sudah dibahas tidak memiliki celah yang cukup jelek. Mungkin saja, ada satu atau dua aturan yang tidak bisa memuaskan seluruh kepentingan. Namun, untuk sementara waktu, undang-undang pemilu yang ada masih bisa dilaksanakan minimal dua sampai tiga kali pemilu kedepan.

Ada pertanyaan yang muncul dalam sengkarut pembahasan demokrasi prosedural. Apakah yang salah itu undang-undang pemilu atau teknis melaksanakan pemilunya? Pertanyaan ini harusnya dijawab untuk mendapatkan kebijaksanaan demokrasi. Untuk menjawab keresahan sebagain kelompok, kita akan memulainya dari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sampai semua merasa keterwakilannya dirasa adil.

Pertama, apakah seluruh partai politik keberatan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak? Regulasi yang ada ternyata mampu diupayakan oleh hampir seluruh partai politik. Bayangkan saja, tidak ada keistimewaan sebagai peserta pemilu. semua partai politik melalui proses yang sama. Ada partai lama yang tetap menjadi peserta pemilu. ada juga partai lama yang kehilangan statusnya mengikuti pemilu. tetapi perlu diingat, bahwa ada juga partai baru yang menjadi peserta pemilu serentak pada tahun 2019.

Dari sisi calon presiden, wakil presiden, calon anggota dewan perwakilan rakyat, dan calon anggota perwakilan daerah. Seluruh syarat ini adalah standar umum. Kemampuan setiap partai untuk menyeleksi di internalnya adalah kunci utama. Setiap calon untuk posisi apapun adalah hak mutlak partai politik.

Perlu kita sadari, bahwa dengan jumlah partai di DPR dan partai-partai yang ada secara legalitas dari kementerian hukum dan hak asasi manusia. Matematika pemilu membuka peluang untuk menciptakan dua sampai lebih pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden itu adalah hak partai politik. Sepanjang musyawarah pimpinan, dewan syuro, atau dewan penasehat partai politik yang didukung oleh seluruh pengurusnya di daerah. Maka, kemungkinan beberapa pasangan calon masih terbuka.

Pertanyaannya adalah apakah partai politik yang di dalam dan di luar DPR benar-benar serius mengurus partai untuk persiapan pemilu selama ini?

Teknis Kepemiluan

Dari berbagai pembicaraan publik, kiranya penulis menangkap maksud utama kicauan media. Bahwa pembahasan aturan pemilu tidak terfokus kepada undang-undang. Melainkan permasalahan teknis yang ada. Masalah teknis ini terbagi atas kesiapan seluruh partai politik, kematangan pengelolaan teknis penyelenggara pemilu, perangkat pendukung kepemiluan dan masyarakat pemilih.

Masalah-masalah yang ada tidak ada muncul jika masalah teknis ini diselesaikan. Pada tahapan awal, seluruh partai politik bisa diberi kesempatan untuk bekerja keras selama tiga tahun kedepan. Bukankah mempersiapkan diri untuk menjadi peserta pemilu lebih penting. Dengan kesiapan yang maksimal, seluruh partai politik akan mudah menjadi peserta pemilu.

Masalah kedua adalah teknis kepemiluan yang menjadi wewenang penyelenggara pemilu. Penting untuk dipahami, setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 lahir. Maka, pada saat yang sama aturan itu mengikat seluruh partai politik. Mereka berserah diri kepada penguasa teknis pemilu, yaitu penyelenggara pemilu.

Pihak yang mengatur teknis peserta pemilu, calon presiden, calon anggota DPR/DPRD, dan calon DPD adalah penyelenggara pemilu. bukan hanya itu, seluruh partai politik tidak bisa membantah aturan turunan dari undang-undang yang mereka ciptakan sendiri. Semua kewenangan ada di KPU, Bawaslu dan DKPP.

Pada tahapan ketiga, perangkat pendukung memang butuh diperkuat dan dipertegas. Misal, bagaimana penguatan penegakan hukum. Untuk ini, kita bisa melihat Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Bukankah sudah bisa dilihat, bahwa banyak kasus yang ditangani dan lanjut sampai putusan pengadilan. Tidak banyak juga calon yang akhirnya gugur dengan kekuatan penegak hukum pemilu.

Sedangkan masalah utama adalah masyarakat pemilih. Contoh sederhana, politik uang tidak akan laku jika pemilih yang menolak calon. Dengan kemampuan menyeleksi calon-calon, pemilih akan melahirkan wakil rakyat pilihan. Mudah. Tidak sulit. Hanya butuh keseriusan dalam pendidikan politik. Dan perlu diingat, pendidikan politik sudah dimulai dari pendidikan sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Bahkan Dinas Kesatuan, Kebangsaan dan Politik di setiap daerah bisa menjamin itu.

Keinginan Utama

Setelah merenungi setiap pilihan yang ada. Maka, penulis memberikan usulan untuk menyelami ke palung demokrasi. Untuk kepentingan politik, dukungan pemerintah daerah harus adil. Dinas Kesbangpol bisa bekerjasama dengan seluruh partai yang ada di daerahnya. Sehingga, setiap kader partai memiliki kesempatan yang sama dalam promosi disela-sela sekolah politik bangsa.

Dari sisi penyelenggara pemilu, penulis berharap ada kiranya evaluasi teknis. Bukan hanya permasalahan undang-undang. Teknis itu adalah soal siapa melakukan apa dan bagaimana caranya. Hal ini bisa diselesaikan dengan benar-benar memperbaiki teknisnya. Contoh, masalah surat suara yang tidak tepat waktu bukan urusan undang-undang. Itu adalah masalah teknis kapan dan bagaimana produksi juga distribusi surat suara.

Untuk menambah keyakinan tentang keadilan pemilu. Kita hanya perlu memperkuat sentra penegakan hukum terpadu tentang pelanggaran hukum pemilu. Nah, sekolah kepemiluan ini bisa dilakukan untuk lembaga atau kementerian terkait. Sehingga, tidak ada bahasa: urusan pidana adalah hak jaksa dan polisi dan urusan pemilu adalah kepintaran penyelenggara pemilu.

Sampai disini, kita baru menyadari, regulasi yang sempurna itu tidak ada. Hanya kitab suci yang benar-benar abadi. Masalah kebijaksanaan politik tentu tidak bisa memuaskan seluruh kelompok. Pada akhirnya, setiap kepentingan akan terpenuhi jika bisa melalui ujian. Kita tidak akan menjadi hebat jika mengurangi bobot ujian dalam berdemokrasi. Bukankah selama ini kita lalui setiap ujian.(***)

 545 total views,  2 views today