Anomali Indonesia Produsen Sawit Dunia, Harga Minyak Goreng Kok Meroket

JAKARTA – Status Indonesia sebagai produsen kelapa sawit dunia menjadi ironi. Anomali muncul lantaran meroketnya harga minyak goreng di dalam negeri. Tidak ramah terhadap rakyat yang sedang berjuang keluar dari jerat ekonomi Covid-19. Kondisi ini pun digugat oleh Persaudaraan Aktivis dan Warga Nusantara (PANDAWA Nusantara).

“Kenaikan harga minyak goreng saat ini tentu menjadi sebuah ironi di Indonesia. Sebab, Indonesia itu produsen kelapa sawit dunia. Semua juga tahu kalau kelapa sawit itu bahan baku minyak goreng. Kondisi ini tentu sangat buruk,” ungkap Manajer Mikro Ekonomi DPP PANDAWA Nusantara Risky Nayendra.

Mengacu harga eceran di wilayah Pasar Rebo, Jakarta, minyak goreng dijual dengan kisaran Rp20 Ribu hingga Rp22 Ribu per Liter. Pada kondisi normal, harga minyak goreng berkisar Rp14 Ribu per Kg. Adapun Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) merelease harga minyak goreng curah rata-rata Rp16.400 per Kg dan harga tertingginya Rp21.850 per Kg di Gorontalo.

Untuk harga minyak goreng curah di Malang berkisar Rp19 Ribu. Bagaimana dengan minyak goreng kemasan merk 1 dan 2? Harga minyak goreng jenis ini dibanderol Rp17.850 hingga Rp17.460 atau naik sekitar 2,88% sampai 3,25% dalam sepekan terakhir. Lebih tragis, harganya pun berbeda-beda di tiap daerah. Harga tertinggi Rp23.350 per Kg di Gorontalo, lalu banderol terendah Rp15.250 pada Surabaya.

“Masyarakat semakin tercekik oleh harga salah satu komoditi tersebut. Kenaikan harga minyak goreng ini tentu mengisyaratkan adanya sesuatu yang tidak beres dari kebijakan pemerintahan,” terang Risky.

Dengan potensinya, Indonesia saat ini menguasai 55% pangsa pasar minyak sawit dunia. Indonesia juga mampu menghasilkan 40% dari total minyak nabati dunia. Dengan kekuatan ekspor kelapa sawit tersebut, komoditi ini mampu menyumbang pendapatan 15,6% untuk lini non migas.

“Angka ekspor kelapa sawit tahun lalu mencapai 55% dari total produksi dalam negeri. Kami berharap pemerintah selaku regulator memberikan inisiatif dan insentif. Kebijakan ini berlaku bagi pelaku Industri untuk mengutamakan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu,” tegas Risky lagi.

Lebih lanjut, Risky menambahkan, operasi pasar yang kerap dilakukan bukanlah solusi efektif. Untuk itu, pemerintah wajib memperbaiki regulasi mata rantai pasokannya. “Operasi pasar tidak akan efektif menurunkan harga minyak goreng. Yang harus dilihat dan diubah adalah regulasi rantai pasokannya. Kebutuhan dalam negeri harus diutamakan,” lanjutnya lagi.

Kondisi semakin menghadirkan ironi. Sebab, produsen minyak goreng dalam negeri menghitung biaya produksi dengan acuan harga CPO dunia. “Tidak habis pikir karena biaya didasarkan pada harga CPO internasional. Padahal, produksi kelapa sawit harus dialokasikan untuk dalam negeri sehingga harga akan stabil,” tutupnya.(***)

 212 total views,  1 views today