Maman: Seimbangkan Ekonomi, Jaga Transisi Pemanfaatan Energi Biru

JAKARTA – Transisi implementasi energi biru ramah lingkungan harus dijaga. Tujuannya tentu agar tidak mengganggu industri dan perekonomian secara menyeluruh. Sebab, industri banyak mengandalkan energi fosil terutama gas dan batubara. Saat ini cadangan energi fosil juga masih sangat banyak tersedia.

“Kami mendukung sepenuhnya penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Perintah juga sudah siapkan regulasinya secara lengkap. Tapi, justru yang ingin dijaga proses transisinya agar tidak mengorbankan industri dan pelaku domestik,” ungkap Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman.

Upaya terus menyeimbangkan proses transisi penggunaan EBT terkuak dalam program Economic Challenges MetroTV, Selasa (21/9) malam. Tema yang diusungnya adalah ‘Misi Jual Beli Emisi’ dan Maman menjadi salah satu narasumbernya. Maman menambahkan, Indonesia tidak serta merta meninggalkan energi fosil.

“Penggunaan EBT terus didorong. Sebab, lingkungan dengan pemanasan global menjadi isu besar yang kami perhatikan. Undang-Undang juga jelas mengatur soal lingkungan. Tapi, Indonesia tidak serta merta meninggalkan energi fosil. Cadangan gas dan batubara melimpah bahkan menjadi sumber devisa bagi negara,” lanjut Maman yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Golkar.

Indonesia memiliki planning jelas terkait implementasi EBT. Indonesia menargetkan EBT bisa diimplementasikan hingga 23%, meski saat ini baru berkisar 11% hingga 13%. Maman pun menerangkan, ego sektoral antar kementerian diturunkan agar fase transisi menuju zero emission berjalan mulus.

“Dalam fase transisi ini, kami dorong EBT. Meski demikian, energi fosil masih eksis. Sekarang tinggal mau berapa lama masa transisi ini. Untuk itu, ego sektoral antar kementerian diturunkan. Mereka harus duduk bersama dan membuat kesepahaman yang sama,” terang Maman.

Lebih lanjut, Maman yang menjabat Ketua DPD Partai Golkar Kalbar mendukung implementasi pajak karbon. Sebab, pajak karbon nantinya digunakan untuk memperbaiki kelestarian lingkungan. Pajak karbon juga hanya berlaku bagi perusahaan-perusahaan penghasil emisi.

“Kelestarian lingkungan harus diperhatikan. Pajak karbon bisa digulirkan karena untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan. Pajak karbon berlaku bagi perusahaan penghasil emisi. Untuk itu, era transisi ini harus dijaga. Pemerintah dan pelaku bisnis saling menopang. Kepentingan nasional tetap dilindungi,” papar Maman.

Pajak karbon rencananya ditetapkan pemerintah mulai tahun depan. Adapun besaran tarif karbon yang berlaku minimal Rp75/Kg Karbon Dioksida ekuivalen satuan setara. Usulan besaran pajak karbon tersebut akan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Meski demikian, besaran angka pajak karbon masih jauh dari rekomendasi lembaga pendonor. Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara USD35 – USD100 per Ton. Jumlah tersebut setara Rp 507.500 hingga Rp 1,4 juta per Ton (kurs USD1=Rp14.500).(*)

 267 total views,  1 views today