Menjaga Kontiniutas UU Pemilu
S. Habib Democracy Watch
Simakdulu, JAKARTA – Pembahasan Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum digoreng dengan sedemikian rupa. Banyak kalangan yang tidak sabar untuk mengubah beberapa pasal. Setiap RUU Pemilu menjadi proyek advokasi jangka panjang.
Panggung-panggung diskusi membawa sekelompok pihak menuju layar-layar televisi. Jika kita membaca ulang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak, kita bisa melihat detil aturan yang mengatur para pembuat undang-undang, yakni Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Oleh sebab itu, apakah UU Pemilu perlu direvisi? Jika iya, untuk kepentingan siapa? Apakah kebutuhan paling mendesak dari perbaikan tata kelola pemilu adalah dengan mengubah beberapa pasal di UU Pemilu? Tentu saja tidak. Banyak hal teknis yang dibawa kearah regulasi. Itu sudah pernah saya bahas sebelumnya.
Tidak Sabaran
Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menerbitkan hasil kajian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi selama 16 tahun. Dari data KoDe Inisiatif, pengujian terhadap UU Pemilu sudah mencapai 159 kali.
Sedangkan, data pengujian undang-undang untuk Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sudah sebanyak 72 kali. Dari kedua undang-undang tersebut, baik UU Pemilu maupun UU Pilkada, ada saja aturan yang diubah-ubah dan diuji. Tidak suka dengan satu aturan, maka solusinya adalah menguji UU itu ke MK, harapannya MK memberikan perubahan terhadap keseluruhan UU, sebagian pasal, atau merubah kata atau pengertiannya.
Dari konteks pengujian tentang pemilu, KoDe Inisiatif juga sudah membagi bentuk pengujian tersebut. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD telah diuji sebanyak 59 kali. Sedangkan UU pemilu, secara keseluruhan diuji sebanyak 43 kali. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden juga kena pengujian sebanyak 39 kali. Terakhir, persoalan penyelenggara pemilu juga diuji sebanyak 18 kali.
Menurut analisa KoDe Inisiatif, UU Pemilu Serentak Tahun 2017 paling banyak diuji sejak tahun 2017 sampai sekarang. Bagaimana mungkin kita bisa menyempurnakan teknis pemilu dengan pengujian disetiap penerbitan UU.
Bayangkan saja, pengujian UU dalam kontek pemilu itu terkait persyaratan calon anggota legislative. Jika ini yang diuji dan diminta dirubah oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat sipil. Bukankah ini soal teknis. Masalah intinya adalah bagaimana seluruh partai politik bisa menyiapkan kadernya. Jadi, tidak perlu menguji ketentuan ini di MK.
Selain itu, ada pengujian tentang pengumuman hasil survei saat masa tenang. Ayolah, bukankah persoalan administrasi seperti ini bisa diselesaikan dengan kinerja penyelenggara pemilu dengan pihak eksekutif yang mengatur persoalan izin lembaga survei.
Lalu, yang paling banyak didiskusikan adalah persoalan presidential threshold dan parlementary threshold. Apakah kita mengetahui bahwa aturan ambang batas ini dibuat secara umum. Baik syarat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Maupun syarat menjadi peserta pemilu.
Ambang batas itu diciptakan untuk menguji calon dan peserta pemilu. Meminjam istilah dalam kebijakan sekolah, jika kamu tidak sanggup mengikuti ujian masuk sekolah, bagaimana kamu bisa menjadi peserta didik? Begitu juga selanjutnya, jika sudah menjadi peserta didik, kamu harus diuji lagi untuk naik kelas. Wajar dan biasa saja.
Menjaga Marwah Produk Legislatif
Dari semua keinginan mengubah UU Pemilu, tidak semua permohonan yang diloloskan oleh MK. 51 kali MK menyatakan bahwa permohonan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Bagaimana maksudnya? Sebenarnya tidak ada dalil untuk menguji UU terkait Paket Politik, tetapi pemohon mencoba saja untuk menguji konstitusional dari UU.
Dari sudut pandang penegakan hukum dan keadilan pemilu, menguji UU itu diperbolehkan. Karena negara kita negara yang demokratis. Tetapi, pengujian itu harus memiliki dasar hukum yang kuat. Jangan-jangan, persoalan yang diuji adalah bagian dari kebijakan politik terbuka (open legal policy).
Dengan demikian, apakah niatan sebenarnya dari menguji dan merubah UU Pemilu? Apakah kita memang memiliki dasar yang kuat untuk merubah UU Pemilu. Perlu kita ketahui bersama, bahwa kesepakatan internasional yang tidak tertulis mengatakan bahwa suatu pemilu yang sehat jika telah melaksanakan empat kali pemilihan umum.
Oleh sebab itu, suatu UU Pemilu yang tidak diubah oleh MK baik secara subtansi maupun penafsiran, sudah selayaknya digunakan sebagai dasar pemilihan umum untuk empat kali pemilihan. Sedangkan, UU No. 7 Tahun 2017 baru menyelenggarakan satu kali pemilu, yakni pemilu 2019.
Jika ada putusan MK yang memaksa dengan tegas mengubah sebagian atau keseluruhan pasal, atau memberikan penafsiran terkait pasal tersebut. Maka, solusinya adalah memasukkan penjelasan MK ke UU tanpa harus merubahnya. Dengan demikian, isu kepentingan RUU Pemilu tidak mempengaruhi konsolidasi politik yang sudah dibangun oleh Presiden Jokowi dan seluruh partai sejak 2017.(***)
298 total views, 1 views today