Pemerataan Keadilan, PANDAWA Nusantara Dorong Kenaikan Harga Pertamax Rp1.500

JAKARTA – Kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) terbuka dilakukan hingga akhir tahun 2021. Kenaikannya menyasar BBM jenis Pertamax. Revisi harganya bisa diberikan maksimal Rp1.500 per Liter. Tujuannya, pemerataan keadilan dan membantu finansial Pertamina. Kebijakan ini bisa mengacu kenaikan harga minyak dunia yang kini berada di atas level USD80 per Barel.

“Kenaikkan BBM tidak untuk subsidi dan penugasan. Tapi, bisa diterapkan untuk Pertamax. Sebab, Pertamax dinikmati oleh ekonomi lapisan menengah ke atas. Artinya, selama ini subsidi Pertamax diberikan kepada orang-orang yang mampu,” ungkap Pengamat Energi Persaudaraan Aktivis dan Warga Nusantara (PANDAWA Nusantara) Mamit Setiawan.

Mengacu harga BBM di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, Pertamax dijual dengan harga Rp9.000 per Liter. Adapun Pertalite dibanderol Rp7.650 per Liter, Pertamax Turbo (Rp12.000 per Liter), Dexlite (Rp9.500 per Liter), lalu Pertamina SEX (CN53) sebesar Rp11.150 per Liter. Mamit menambahkan, Pertamax tetap ideal di harga Rp10.500 per Liter.

“Pertamax masih mungkin dijual Rp10.500 per Liter. Artinya, naik Rp1.500 per Liter. Berbeda dengan Pertalite yang penggunanya lebih banyak. Hal ini jadi indikasi kalau Pertalite digunakan oleh masyarakat, terutama yang ekonomi pas-pasan. Jadi, kenaikan harga Pertamax masih rasional,” lanjut Mamit.

Mengacu simulasi harga BBM versi PANDAWA Nusantara, Pertamax sebenarnya memiliki nilai ekonomi Rp11.550 per Liter. Namun, kenyataannya harga di pasaran hanya Rp9.000 per Liter. Hal sama dengan Pertalite yang memiliki harga ekonomi Rp11.400 per Liter dengan realisasi harga Rp7.650 per Liter. Mamit menerangkan, kenaikan harga Pertamax tidak akan memicu inflasi.

“Kalau Pertamax yang dinaikkan tidak akan inflasi. Sebab, penggunanya tidaklah sebesar Pertalite. Tapi, selisih subsidi Pertamax sangatlah besar. Penyesuaian harga Pertamax dengan situasi global harus dilakukan. Pemerintah juga harus mengubah subsidi rakyat tidak harus dengan produk atau barang,” terangnya.

Untuk menaikkan harga Pertamax, pemerintah bisa melakukannya saat ini. Sebab, tahun 2022 bukan lagi momentum terbaik menaikkan harga BBM. Tahun depan sudah mulai masuk zona politik. Artinya, menaikkan harga BBM apapun jenisnya bukanlah kebijakan populer. Keputusan itu justru bisa menjadi bumerang terhadap elektabilitas dan suara voters.

“Momentum menaikkan harga BBM lebih spesifik Pertamax itu ada saat ini. Mendekati Desember akhir 2021 juga masih mungkin. Asalkan jangan sampai masuk 2022 karena nuansa politiknya kuat. Tahun depan sudah masuk tahun politik dan semuanya tentu akan berhitung ulang. Satu sisi, Pertamina harus diberi keleluasaan finansial,” jelas Mamit lagi.

Beban subsidi konsumsi BBM domestik sebenarnya terjepit oleh kenaikkan harga minyak dunia. Hingga Rabu (3/11), harga minyak dunia jenis Brent bertengger USD83,78 per Barel. Angka ini naik signifikan karena pada awal September 2021 masih berada pada harga USD71,59 per Barel. Mamit pun memprediksi harga minyak dunia akan bertahan pada rentang USD80-82 per Barel.

“Harga minyak dunia saat ini juga sangat fluktuatif. Pada Oktober kemarin bahkan tembus USD85,89 per Barel dan jadi yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Memang sempat terkoreksi 3,2%, situasi ini tidak berpengaruh banyak karena harga akan stabil di atas USD80 per Barel hingga akhir tahun,” tutup Mamit.(*)

 485 total views,  1 views today